Pancasila
Yuridis Kenegaraan
Pancasila
dibahas dari sudut pandang moral atau etika, maka lingkup pembahasannya
meliputi: “etika Pancasila” dibahas dari sudut ekonomi kita dapatkan
bidang “ekonomi Pancasila”, dari sudut pandang filsafat “filsafat Pancasila”
yang meliputi aksiologi, epitemologi, bilamana dibahas dari sudut pandang
yuridis kenegaraan, maka kita dapatkan bidang “Pancasila yuridis kenegaraan”. Pancasila
yuridis kenegaraan, meliputi kedudukan sebagai dasar negara yang
meliputi bidang yuridis dan ketatanegaraan, realisasi Pancasila di segala aspek
penyelenggaraan Negara, baik yang menyangkut norma hukum maupun norma moral. Pembahasan
Pancasila yuridis kenegaraan, meliputi pengetahuan deskriptif, kausal &
normatif. Adapun tingkat pengetahuan ilmiah assensial dibahas dalam filsafat Pancasila, yaitu membahas sila-sila sampai inti sarinya, maka yang terdalam, atau membahas sila-sila Pancasila sampai tingkat hakikatnya.
Secara
Ilmiah
Sebagai
suatu kajian ilmiah harus memenuhi syarat ilmiah yaitu dengan metode
analisis-abstraksi-sistesis. Sistem pengetahuan ilmiah itu
bertingkat-tingkat sebagaimana dikemukakan oleh I.r Poedjowijatno dalam
bukunya: “Tahu dan Pengetahuan”. Sbb:
bertingkat-tingkat sebagaimana dikemukakan oleh I.r Poedjowijatno dalam
bukunya: “Tahu dan Pengetahuan”. Sbb:
- Berobyek
Syarat suatu
pengetahuan ilmiah, bahwa ilmu pengetahuan itu herus memiliki obyek. Di dalam
filsafat ilmu pengetahuan dibedakan atas dua macam obyek yaitu “obyek formal” dan “obyek materia”. Obyek
formal, pancasila yang dalam arti formal yaitu Pancasila dalam rumusan yang sudah
tertentu bunyinya dan berkedudukan hukum sebagai dasar filsafat Negara. Obyek
materia, pancasila adalah suatu obyek yang merupakan sasaran pembahasan dan
pengkajian, baik bersifat empiris maupun non-empiris. Obyek
materia pembahasan, adalah pandangan hidup bangsa yang sudah lama diamalkan
dalam segala aspek, adat dan kebudayaan, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selain itu obyek materia pembahasan Pancasila berupa: lembaran Negara, lembaran hukum maupun naskah-naskah resmi kenegaraan yang mempunyai sifat imperatif yuridis. Adapun obyek
yang bersifat non-emperis meliputi: nilai moral, serta nilai-nilai religius
yang tercermin dalam kepribadian, sifat, karakter dan pola-pola budaya dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
- Bermetode
Salah satu
metode dalam pembahasan Pancasila adalah metode “analitico syntetic” yaitu
suatu perpaduan metode analitis dan sintesis. Dikarenakan obyek Pancasila banyak berkaitan dengan hasil-hasil budaya dan obyek sejarah, maka lazim digunakan metode “hermeneutika” yaitu suatu metode untuk menemukan makna dibalik obyek. Demikian
juga metode “koherensi historis”, serta metode “pemahaman, penafsiran dan
interpretasi”, metode-metode tersebut senantiasa didasarkan atas hukum-hukum logika dalam suatu penarikan kesimpulan terhadap: UUD 1945, TAP MPR, Perundang-undangan, serta fakta-fakta historis yang telah diakui kebenarannya, diteliti dengan menggunakan metode dan teknik yang bersifat ilmiah agar dapat dipahami obyek secara lebih berhasil, sehingga diperoleh pengetahuan yang benar mengenai obyek itu.
- Bersistem
Pengetahuan
ilmiah harus merupakan suatu kesatuan, artinya keseluruhan proses dan hasil
berpikir disusun dalam satu kesatuan yang bulat. Saling berhubungan sehingga diperoleh kesatuan yang organis, harmonis, dan dinamis. Pembahasan
Pancasila sebagaimana yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 secara ilmiah,
harus merupakan suatu kesatuan dan keutuhan.
- Bersifat Universal
Kebenaran
pengetahuan ilmiah harus bersifat universal, tidak terbatas oleh waktu,
situasi, maupun jumlah tertentu. Kajian
hakikat pada nilai-nilai Pancasila bersifat universal, dengan kata lain bahwa
inti sari, essensi atau makna yang terdalam dari sila-sila Pancasila adalah bersifat universal yang mendukung kebenaran atas kesimpulan dan pertanyaan.
Tingkatan
Pengetahuan Ilmiah
Tingkatan
ilmiah dalam masalah ini lebih menekankan pada karakteristik pengetahuan.
Sehingga sangat ditentukan oleh macam pertanyaan, sbb:
- Pengetahuan deskriptif : Suatu pertanyaan “bagaimana” Mengkaji Pancasila secara obyektif, harus menerangkan dan menjelaskan serta menguraikan Pancasila secara obyektif sesuai dengan kenyataan Pancasila itu sendiri sebagai hasil budaya bangsa Indonesia.
- Pengetahuan kausal : Suatu pertanyaan “mengapa” Kaitan dengan kajian tentang Pancasila, maka tingkat pengetahuan sebab-akibat akan berkaitan dengan kajian proses kausalitas terjadinya Pancasila, meliputi empat kausa: kausa materialis, kausa formatis, kausa effisien dan kausa finalis.
- Pengetahuan normatif : Suatu pertanyaan “ke mana” Dengan kajian normatif, dapat membedakan secara normatif realisasi atau pengamalan Pancasila yang seharusnya dilakukan. Realisasi Pancasila dalam kenyataan faktual yaitu Pancasila yang senantiasa berkaitan dengan dinamika kehidupan serta perkembangan zaman.
- Pengetahuan essensial : Suatu pertanyaan “apa” Kajian Pancasila secara essensial pada hakikatnya untuk mendapatkan suatu pengetahuan tentang inti sari atau makna yang terdalam dari sila-sila Pancasila.
Hakikat
Sila-sila Pancasila
1. Hakikat
sila ke-Tuhanan Yang Maha Esa
Prinsip yang
berisi keharusan untuk bersesuaian dengan hakikat Tuhan, pencipta segala makhluk dan pencipta alam semesta beserta isinya, sebagai asas kenegaraan, maka segenap rakyat Indonesia berdasarkan atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Hakikat/prinsip sila ini untuk menghormati dan mentaati Tuhan. Pancasila bukan agama, hal-hal yang siftanya ritual dan sakral, diserahkan kepada agama dan kepercayaan masing-masing.
2. Hakikat
sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Mengandung
sikap dan perbuatan manusia yang didasarkan kepada budi nurani manusia dalam hubungan dengan sesama manusia dan alam. Prinsip ini bersesuaian dengan hakikat manusia.
3. Hakikat
sila Persatuan Indonesia
Berisi
keharusan untuk bersesuaian dengan hakikat satu, tidak terbagi, tidak menjadi bagian dari Negara lain.
4. Hakikat
sila Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan
Berkeharusan
untuk bersesuaian dengan rakyat, rakyat merupakan unsur konstitutif, pembentuk Negara. Kekuasaan tertinggi di dalam Negara berada di tangan rakyat.
5. Hakikat
sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Tekanan pada
hubungan antar warga Negara dengan pemerintah dan sebaliknya. Dalam hubungan antar pemerintah dengan warga Negara, masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban.